Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’
#SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com
Motorku
Akhirnya Berdo’a Loh
Ting
tung. Ting tung. Ting tung. Ting tung. Ting tung.
Nada pesanku
berbunyi. Aku ambil handphone ku dengan ogah-ogahan. Tanganku menggapai-gapai mencari
di atas kepalaku. Bantal kubolak-balik, masih juga belum ketemu. Mataku yang
masih merem kupaksa membuka. Akhirnya kepalaku kuangkat dengan kesal. Ah. Itu
dia. Handphone satu-satunya tergeletak diam di ujung kasur. Pantesan tanganku
tidak bisa mencapainya. Apalagi dengan mata yang masih malas membuka. Aku
membuka pesan yang daritadi mengganggu tidurku. Aku kan berencana bangun siang
di minggu yang mungkin indah ini.
Woi!!
Gw udh mau nyampe nih. Pulsa gw abis. Gawat nih, elu pasti msh molor indah.Gw
gak bisa telpon nih, haduuhhh.
Woiiiii!!!Gw
gak mau nunggu lama dlm kesendirian di stasiun L
Gw
udah turun nih. Disamping abang becak. Cepetaaan!!! Aku kesepian ditengah
keramaian abang-abang huhuhu
Diiinnnnn!!!!
Lu
bisa-bisanya molor, padahal tau gw udah otw dan ada di dlm kereta. Jahat deeehh
tegaaa!!!
Cerewet nih anak.
Malem ya pasti aku tidur lah. “Hoaaahhhmm.
Otw. Tunggu deh di samping abang becak yang paling ganteng, hahaha.” Aku
membalas pesannya. Aku bangun dan
mengerjapkan mata. Aku berjalan ke kamar mandi dengan niat menggosok gigi dan
cuci muka doang agar bisa segera menjemput si Yuki yang sudah muncul tanduk
keputusasaannya. Tapi apa daya, perutku mulas dan menuntut diriku untuk segera
mengeluarkan sampah yang menggunung di dalamnya. Oke, tunggu sebentar lagi ya Kawan,
panggilan alam darurat hahaha. Lalu dengan kombinasi gerakan gemulai seorang
putri dan erangan naga sakit aku memulai kegiatan manusiawi itu.
Semua usai dalam
waktu 960 detik kemudian, dan aku langsung memakai jaket dan memasang helm di
kepalaku. Setelah bunyi ‘klik’ terdengar, aku segera melenggang pergi keluar
kamar.
“Mbak Dita, Kamu mau pergi nggak? Bisa pinjam
helmnya? Mau jemput Yuki nih di stasiun.” Aku sapa teman kos ku yang sedang
nonton TV.
“Iya ambil aja di motor. Di
stasiun aja ngapain pakai helm sih? Kan deket situ doang?” tanyanya.
“Kan aku warga negara yang baik
Mbak. Patuhi peraturan dong hahaha.”
“Halah. Tuh kaca spion pasang deh
kalo emang gitu, weeek hahaha.”
“Kalau mau ke kota saja Mbak
pasangnya. Gak keren banget deh spion dua.” Kataku sambil lalu.
STNK dan SIM selalu
ada di dompet. Walau begitu, aku tetap mengeceknya sambil menuruni tangga
menuju lantai bawah tempat motorku diparkir. Aku ambil helm Mbak Dita yang
selalu nangkring di rak helm kos. Aku lihat spion motorku yang cuma terpasang
satu, yaitu spion kiri. Ah, motorku keren banget sih. Motor anak muda tuh kayak
gini, nggak jaman dua spion kayak orang berdo’a. Aku keluarkan motorku dan aku
jepit helm pinjaman untuk Yuki di depan. Aku berangkat dengan hati ceria karena
angin udara pagi yang segar menampar lembut mukaku.
Tak perlu waktu lama
untuk sampai di stasiun dan aku langsung mengenali wajah masam cemberut yang
tak elok itu duduk menunggu diantara deretan becak-becak. Aduhai memang nih
anak, beneran ditunggu diantara tukang becak, hahahahha. Aku mengerem motorku
tepat di depan Yuki dan dia langsung menyalak,
“Lama amat sih Lu! Otw Lu tuh
darimana sih? Bilang otw, tapi gak nongol-nongol.”
“Otw ke kamar mandi lah, eh niat
gue udah baek loh tadi. Gak pake mandi segala demi jemput Lu. Tapi perut gue
nyuruh gue duduk dulu menikmati pagi. Boker cantik.” Aku tersenyum manis. Manis
menurut ukuranku. Tapi muka Yuki tetap masam. Eh salah. Malah makin masam.
“Bodo. Lu traktir gue sarapan,”
Katanya sambil mengambil helm yang kubawa dan dia naik ke boncengan. “waktu gue
jemput Lu, mana pernah sih gue telat?”
“Emang niat gue traktir Lu loh.
Gimana? Terharu Lu?” aku pacu motor kerenku dengan halus. “Lagian, gue nyampe
sini siang hari, gak pagi buta kayak Lu.” Aku menuju tempat bubur ayam
langganan yang ada di Jalan Dhoho. Aku parkir motor di tempat parkir dan aku
memesan bubur ayam dua porsi makan di tempat, satu porsi dibungkus buat Mbak
Dita. Lalu kami memilih duduk di tempat yang bisa menikmati pemandangan jalan
raya.
“Eh Din, spion Lu kok cuma satu?
Gak bahaya tuh? Kemarin masih dua deh.” Tanya Yuki membuka percakapan.
“Gue copot lah. Kan gue pasang
kalo ke kota gede atau kalau mau pulang kampung doang, kikikik. Bahaya gimana
maksud Lu?”
“Iya bahaya. Kan spion cuma satu
dan yang kiri pula, bahaya banget. Bayangin deh…”
Aku melihat motor
kerenku. Hmmm, memang sih bahaya. Kalau aku sedang nyetir dan mau menyeberang
ke kanan misalnya, akan bahaya banget. Karena aku tidak akan bisa melihat
apakah ada kendaraan di belakangku yang akan memotong jalanku lewat kanan. Harus
nengok ke belakang. Repot banget sih. Walaupun aku sudah menyalakan lampu sein,
bukan berarti semua orang akan waspada atau bahkan melihat tanda itu. Akan ada
saja kemungkinan ada seseorang yang tidak tahu ataupun memang menghiraukan
tanda lampu seinku. Hasilnya seseorang itu akan menyalipku dari kanan dan
BRAKK. Gambaran tabrakan bermain di kepalaku.
“Iya juga ya. Aku pasang deh
nanti setelah kita makan. Spionnya ada di jok kok.”
“Nah gitu loh. Lima puluh ribu
lumayan loh.” Kata Yuki sambil menerima bubur ayam kami yang sudah datang.
“Heh? Apaan lima puluh ribu?”
“Duit kalau ketilang
denger-denger segitu. Atau 75 ribu?Kalaugue sih mending nurutin aturan daripada
duit dikasih ke Pakpol hahaha. Ga pernah ketilang sih gue.” Terang Yuki.
“Gue kira yang Lu maksud bahaya
tuh kecelakaan. Pingin gue getok dengkul Lu.”
“Nih getok hahaha. Tapi, iya juga
sih. Bahaya kecelakaan juga. Tapi gue kan mata duitan. Jadi bahaya gue tuh,
kalau duit ilang ke hal sia-sia gitu.” Yuki mulai memakan bubur ayamnya.
“Baru ini sih gue denger orang
mata duitan ngaku kalau dirinya mata duitan.”
“Hahahaha gue kan sadar diri
Cyiin…orang lain sih buruk muka cermin dibelah. Gue kan buruk muka, muka
dipermak.”
Kami makan bubur ayam
sambil ngobrol kesana kemari. Setelah selesai, kami duduk-duduk dulu menikmati
pagi sambil korek-korek sisa makanan di sela gigi dengan tusuk gigi. Ada
suwiran ayam nyangkut di gigiku.Sedang asyik-asyiknya korekin gigi, tiba-tiba
ada motor melaju dengan kencang. Aku cuma membatin aja, pumpung masih pagi tuh
orang maen ngebut aja naek motornya.
“Ngebut amat tuh orang.” Kataku
akhirnya. Masih berusaha mengeluarkan daging nyangkut.
“Kebelet boker kali.” Jawab Yuki.
Dia sudah selesai melakukan pembersihan giginya.
Kemudian kita beranjak dari situ
dan membayar makanan kami, lalu menuju motor.
“Pasang tuh spion. Sok muda deh,
inget udah tua. Motor tuh yang berdo’a aja spionnya.” Kata Yuki.
“Asem Lu. Gue masih muda tau.”
Aku ambil spion dan kunci 14 untuk memasang spion ke tempatnya. Gampang. Hitungan
ratusan detik sudah selesai memasang spion. Aku memang hebat. Bisa pasang spion
sendiri aja udah ngerasa jadi montir professional.
“Hahahahahahaha kayak motor emak
gue sekarang hahahahahaha.” Kata Yuki sambil tergelak-gelak. Apa sih maunya nih
anak?
“…gue copot lagi ah,”
“Jangaaan!” Yuki merebut kunci
dari tanganku, “Demi keselamatan kita bersama, biarkan motor Lu berdo’a, oke?”
“Keselamatan kita dari bayar
setoran ke Pakpol?”
“Bisa juga. Mari kita pulang ke
kosan kita tercinta. Gue ngantuk tau nggak.”
“Nggak tau. Yang gue tahu, Lu tuh
belom mau.” Aku naik ke motor dan Yuki mengikuti di belakang. Kami memakai helm
sampai terdengar bunyi ‘klik’. Kami pun meluncur dengan santai menuju rumah kos
kami.
Sesampainya di pertigaan
menikung dekat kampus A, kami terpaksa melaju dengan amat santai demi melihat
kerumunan orang yang berjejer-jejer padat di depan kami. Oh my God. Sesosok
tubuh tergeletak di tengah jalan. Sepertinya tidak bergerak. Orang-orang banyak
yang berhenti namun hanya sedikit yang berada di dekatnya. Cairan yang kuduga darah
mengalir dari kepala orang itu ke aspal yang agak menurun. Motor yang ringsek
dibawa ke pinggir. Belum ada polisi yang datang. Sepertinya orang-orang juga
tidak berani merubah posisi orang itu. Sepertinya takut kenapa-kenapa.
“Haduh kecelakaan. Eh kepala
orang itu pasti pecah. Darahnya menggenang gitu. Ih ngeri. Ayok kita cari jalan
lain aja, gue mules nih.” Kata Yuki. Dia memang tidak tahan dengan darah.
“Gak pake helm yak? darahnya
banyak loh. Gue pingin lihat. Tunggu sampai polisi dan ambulans datang yuk.”
Aku memperhatikan sekeliling.
“Kayaknya orang-orang belom
ngapa-ngapain tubuh itu deh. Gak ada helmya tuh. Aduh plis Din, gue mules. Lu
mau gue muntah disini?”
Demi kesejahteraan
bersama, aku memutuskan untuk putar balik mencari jalan lain. Sepanjang jalan
pulang kami diam. Sesampainya di kosan, kami ceritakan kejadian itu pada Mbak
Dita ketika kami menyerahkan bungkusan bubur ayam untuknya. Mbak Dita bertanya
dengan detail kapan, dimana, mengapa, siapa, dan kata tanya yang lain.
“Nggak tahu Mbak. Kita udah
keburu pulang sebelum polisi datang. Nggak tanya-tanya orang pula. Jadi kita
gatau detailnya.” Kataku.
“Tapi motor yang ada cuma satu
ya? Kecelakaan sama apa kita juga nggak tahu sih Mbak.” Kata Yuki.
“Makanya gue bilang tunggu lebih
lama biar tau ceritanya.”
“Gue ogah. Mules nih lihat
darah.”
“Eh. Tadi tuh orang yang naek
motor ngebut pas kita makan bubur ayam nggak sih?”
“Eh, Masa?” Yuki malah tanya balik.
Mbak Dina yang Cuma
memperhatikan, akhirnya ngomong, “Jam pagi sama jam malem, sering banget loh
aku mergokin orang naek motor ngebut-ngebut. Mungkin karena belom ada polisi
kali ya. Harusnya orang-orang tuh patuh pada peraturan nggak cuma karena malas
ketilang polosi doang. Harusnya itu udah jadi kesadaran mereka masing-masing.
Kita udah hati-hati dan mematuhi peraturan pun, masih ada kemungkinan terlibat
kecelakaan kok. Misalnya pernah nih kejadian temenku dan aku berhenti di lampu
merah yang ada papan himbauan belok kiri ikuti lampu lalu lintas, ada orang
yang terbiasa langsung belok kiri, terlambat nyadar kalau kita berhenti, gak
sempet ngerem dan dia nubruk kita. Nih gigiku patah gara-gara itu. Ada juga
loh, kita dah berhenti di perempatan situ soalnya ada papan himbauan itu, eh
tapi, kita malah sering di klaksonin suruh terus.” Mbak Dita cerita dengan
serius.
“Dengerin tuh Din. Pasang tuh
spion selamanya. Jangan cuma pas ke kota gede aja.” Kata Yuki.
“Dengerin juga Lu. Kalau belok
tuh nyalain tuh lampu sein.”
“Sama aja kalian nih.” Kata Mbak
Dita sambil membuka bungkusan bubur ayam. “Eh tengkyu yah buburnya.
Sering-sering aja loh, jangan sungkan.”
Lalu setelah
ngobrol-ngobrol tentang kejadian itu dengan Mbak Dita dan Yuki, terlebih lagi
setelah tahu dengan mata kepala sendiri bagaimana orang itu tak bergerak di
atas aspal, aku rasanya gak punya keinginan lagi untuk mencopot spionku.
Biarlah motorku berdo’a kayak motor emak dan bapak di rumah. Mau muda mau tua,
mencegah kecelakaan itu wajib. Menjaga keselamatan diri sendiri dan orang lain
itu harus. Eh, bedanya wajib sama harus apaan ya? Pokoknya sebagai pengguna
jalanan, kita harus mengedepankan keelamatan. Keselamatan bagi semua orang.
Langkah pertama, patuhi peraturan.
** THE END**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar